Tuesday, 25 December 2012

al farabi


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
            Ternyata di dalam ilmu filsafat bukan hanya dari tokoh-tokoh barat saja yang ikut andil dalam menge,bangkan ilmu ini. Akan tetapi, di islam pula terdapat beberapa tokoh yang ikut andil dalam mengembangan ilmu filsafat, diantaranya: Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi, dan lain-lain. Adanya tokoh islam yang ikut andil dalam mengembangakan ilmu filsafat ini, sedikit orang yang mengetahuinya. Oleh karna itu, penulis akan menjelaskan salah satu tokoh islam yang ikut andil dalam ilmu filsafat ini, yaitu Al-Farabi.
B. Rumusan Masalah
            Melihat dari latar belakang masalah, penulis akan merumuskan masalah yang nantinya akan dijadikan materi makalah, yaitu:
1.      Biografi Al-Farabi
2.      Filsafat dan karya-karya Al-Farabi

C. Tujuan Penulis
            Adapun tujuan penulis adalah untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah ilmu kalam, selain itu juga ada beberapa tujuan diantaranya:
a. Mengetahui lebih jauh tentang Al-Farabi; dan,
b. Untuk menambah wawasan dan pengalaman kami sebagai mahasiswa/ i.



BAB II
AL-FARABI



A.    Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.
Pada masa mudanya, di kota kelahirannya, al-Farabi banyak belajar beragam disiplin ilmu, mulai dari fikih, tafsir, hingga logika. Namun semua penjelasan gurunya tidak memuaskan dirinya. Al-Farabi kemudian pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu. Di Baghdad inilah, al-Farabi bertemu sekaligus belajar dengan orang-orang terkenal dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Al-Farabi belajar bahasa dan sastra Arab dari Abu Bakr al-Sarraj; belajar logika dan filsafat dari Abu Bisyr Mattius (seorang Kristen Nestorian) yang banyak menerjemah filsafat Yunani dan Yuhana bin Hailam (juga seorang filosof Kristen). Al-Farabi bahkan sempat pergi ke Harran, daerah yang berada di wilayah tenggara Turki yang dikenal sebagai pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Daerah Harran ini pula lah, konon orang tua nabi Ibrahim as. lahir dan dibesarkan, sekaligus menjadi tempat lahirnya bapak para nabi itu.
Al-Farabi dipandang sebagai filosof Islam pertama yang berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204 – 270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia Barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yūnānī (guru besar dari Yunani), maka mereka menyebut al-Farabi sebagai al-Mu’allim al-Tsānī (guru kedua) di mana “guru pertama”-nya disandang oleh Aristoteles. Julukan “guru kedua” diberikan pada al-Farabi karena dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato. Melalui karya al-Farabi berjudul al-Ibānah ‘an Ghardh Aristhū fī Kitāb Mā Ba’da al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang khusus menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.
Setelah melakukan petualangan cukup lama di Baghdad, sekitar 20 tahun, al-Farabi pergi ke Damaskus ketika berumur 75 tahun (sekitar tahun 945 M). Di ibukota Suriah inilah, al-Farabi berkenalan dengan Sultan Saif ad-Daulah, penguasa Dinasti Hamdan di Aleppo, wilayah Suriah bagian utara yang dikenal sebagai negeri industri. Sultan memberi al-Farabi jabatan sebagai ulama istana dengan banyak fasilitas kerajaan yang mewah. Namun fasilitas mewah itu ditolaknya dan hanya mau mengambil sekitar 4 dirham saja per hari sekedar untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari secara sederhana. Di negeri Aleppo ini, al-Farabi banyak berkenalan dengan para ahli di berbagai disiplin ilmu pengetahun: sastrawan, penyair, ahli fikih, kalam, dan lainnya. Sisa dari gaji yang diterima dari kerajaan, digunakan al-Farabi untuk kepentingan sosial dan dibagi-bagikan pada kaum fakir miskin di sekitar Aleppo dan Damaskus. Pada tahun 950 M, al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada usia 80 tahun.
B.     Filsafat dan Karya-Karya Al-Farabi
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
a.      Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
b.      Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
c.       Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
d.      Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
e.       Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
f.       Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
g.      Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
h.      Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
i.        Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
j.        Wujud X itu bepikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori:
·         esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]).
·         esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya:
1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction);
 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan
3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī).
Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan:
1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya;
2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial;
3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi.
Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah di bidang sosial-politik. Karyanya yang terkenal adalah berjudul Ārā` Ahl al-Madīnah al-Fādhilah (Opini Penduduk tentang Negara Utama). Menurut al-Farabi, politik diperlukan sebagai mediasi yang bisa mengantarkan manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Untuk mencapai kesempurnaan, manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan harus bekerjasama. Hubungan kerjasama setiap individu inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya masyarakat. Menurut al-Farabi, seorang pemimpin harus memiliki karakter umum, seperti: 1) kecerdasan; 2) ingatan yang kuat; 3) murah hati; 4) sederhana; 5) cinta keadilan; 6) cinta kejujuran; 7) tegar, berani; dan fasih bicara.
Di samping karakter umum, al-Farabi juga berpendapat bahwa seorang penguasa (pemimpin negara) harus memiliki daya profetik (kenabian) yang sampai pada tingkatan ‘aql mustafād agar mampu menangkap sinat pengetahuan yang dipancarkan oleh akal ke-10 (jibril). Oleh karena itu, ketika seorang pemimpin yang mencapai tingkatan itu sulit ditemukan atau tidak ada (yaitu seorang nabi), maka bisa diganti oleh seorang filosof, karena dia juga mampu sampai pada tingkatan ‘aql mustafād. Namun jika kriteria filosof juga belum ditemukan, maka negara bisa dipimpin secara kolektif dalam bentuk semacam presidium. Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin itu, kemudian dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara (orator) dan komunikasi (komunikator), dan sebagainya. Lawan dari al-madīnah al-fādhilah (negara utama) adalah al-madīnah al-fāsidah (negara korup/rusak) yang ditandai dengan ciri-ciri: kebodohan (jahl), kebobrokan (fisq), gonjang-ganjing (tabaddul), dan sesat/rugi (khusr).
Pemikiran al-Farabi yang lain lagi adalah soal teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk merespon pendapat Ibnu al-Rāwandi (w. ± 910 M ) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w. 925 M) yang kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan diragukan (baca kembali tulisan saya tentang teori kenabian menurut al-Razi). Menurut al-Farabi, nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang nabi.
Di antara karangan Al-Farabi ialah:
·         Aghradhu ma BA’da At-Thabi’ah
·         Al-Jam’u baina Ra-jai Al-Hakimain (mempertemukan dua pendapat filosuf, maksudnya plato dan aristoteles)
·         Tahsil As-Sa’adah (mencari kebahagiaan)
·         ‘Ujunul-Masail (pokok-pokok persoalan)
·         Ara-u Ahlil-Madinah Al-Fadhilah (pemikiran-pemikiran penduduk kota utama = negri utama)
·         Ih-Sa’u Al-Ulum (statistik ilmu).
Dalam buku terakhir ini Al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bagian-bagiannya, yaitu ilmu-ilmu bahasa (ilmu-ilmu al- lisan), ilmu mantik, ilmu matematika (At-Ttalim), ilmu fisika, ilmu ketuhanan, ilmu kedokteran, ilmu fiqh, dan ilmu kalam. Nampaknya ilmu-ilmu tersebut telah ditemukan oleh orang-orang sebelumnya. Hanya saja Al-Farabi menambah dua cabang ilmu lagi, yaitu ilmu fiqh dan ilmu kalam sebagai ilmu-ilmu keislaman yang mendapat perhatian besar pada masanya.





















BAB III
PENUTUP



A. Kesimpulan
·         Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
a.      Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
b.      Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
c.       Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
d.      Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
e.       Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
f.       Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
g.      Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
h.      Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
i.        Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
j.        Wujud X itu bepikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori:
·         esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]).
·         esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Di antara karangan Al-Farabi ialah:
·         Aghradhu ma BA’da At-Thabi’ah
·         Al-Jam’u baina Ra-jai Al-Hakimain (mempertemukan dua pendapat filosuf, maksudnya plato dan aristoteles)
·         Tahsil As-Sa’adah (mencari kebahagiaan)
·         ‘Ujunul-Masail (pokok-pokok persoalan)
·         Ara-u Ahlil-Madinah Al-Fadhilah (pemikiran-pemikiran penduduk kota utama = negri utama)
·         Ih-Sa’u Al-Ulum (statistik ilmu).
Dalam buku terakhir ini Al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bagian-bagiannya, yaitu ilmu-ilmu bahasa (ilmu-ilmu al- lisan), ilmu mantik, ilmu matematika (At-Ttalim), ilmu fisika, ilmu ketuhanan, ilmu kedokteran, ilmu fiqh, dan ilmu kalam. Nampaknya ilmu-ilmu tersebut telah ditemukan oleh orang-orang sebelumnya. Hanya saja Al-Farabi menambah dua cabang ilmu lagi, yaitu ilmu fiqh dan ilmu kalam sebagai ilmu-ilmu keislaman yang mendapat perhatian besar pada masanya.
B. Saran-Saran
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami.
·         Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “AL-FARABI
·         Jadikanlah Makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.






DAFTAR PUSTAKA



Penyusun, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997, ENSIKLOPEDI  ISLAM, -cet. 4-, Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta.
Ahmad Syadala Dkk, FILSAFAT UMUM, Pustaka Setia: Bandung.al farabi

No comments: